Hasil survei yang meletakkan rendang sebagai makanan terlezat di dunia mengangkat popularitas Sumatera Barat. Daerah berpenduduk sekitar lima juta jiwa ini diyakini sebagai etnis yang mampu menghasilkan masakan berkualitas.
Tak salah bila baru-baru ini Gubernur Sumatera Barat rela terbang berjam-jam melintasi samudera untuk meresmikan Rumah Makan Padang di Negeri Paman Sam. Saat ini mudah sekali menemukan masakan Padang di tanah air. Di Padang sendiri hampir setiap rumah makan menawarkan menu rendang— daging berbumbu yang didominasi rasa manis dan pedas.
Bagi masyarakat Minang, rendang adalah menu utama saat hari-hari besar seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan menjelang bulan Ramadhan. Tak ayal pada waktu tersebut harga daging sapi segar akan melonjak fantastis karena meningkatnya permintaan akan komoditi tersebut.
Tak jarang kenaikan harga sapi akan berdampak multiefek terhadap sejumlah komoditi lain yang digunakan untuk memasak rendang seperti bawang dan cabai. Pada saat tradisi ‘marandang’(membuat rendang) menjelang hari besar Islam, masakan khas Minang ini akan dengan mudah ditemui pada setiap rumah.
Rendang juga menjadi menu wajib saat kawinan atau pesta adat lainnya. Di hari-hari biasa, rendang bukanlah masakan utama yang menemani makanan keluarga. Namun pada hari besar Islam, rendang menjadi menu utama atau hidangan wajib bagi orang Minang.
Waktu pembuatannya yang cukup lama, membuat rendang hanya dijadikan sebagai menu favorit pada waktu-waktu tertentu. Selain menyita waktu, biaya yang dikeluarkan untuk membuat masakan ini terhitung cukup mahal. Namun, rendang yang sempurna juga bertahan untuk jangka waktu yang panjang.
Rendang tidak akan kehilangan rasanya meskipun dikonsumsi dalam waktu berminggu-minggu jika rutin dipanaskan. Seperti dikutip dari Wikipedia, rendang dituangkan dalam sejumlah kesusteraan Melayu klasik. Dalam Hikayat Amir Hamzah, rendang telah dikonsumsi bangsa Melayu sejak 1550.
Berikut kutipan hikayat tersebut yang memuat tentang rendang:
AHmz 10:4 ..... Buzurjumhur Hakim pun pergi pula ke kedai orang merendang daging kambing, lalu ia berkata: "Beri apalah daging kambing
AHmz 10:7 ... kambing rendang ini barang segumpal." Sahut orang merendang itu, "Berilah harganya dahulu." Maka kata Khoja Buzurjumhur, [1][2]
Rendang Ada Sejak Awal Abad 16?
Menurut Sejarawan Universitas Andalas Prof Gusti Asnan, keberadaan rendang sebagai masakan Minang diduga jauh lebih tua dari apa yang tertera dari Hikayat Amir Hamzah. Dalam penelitiannya saat ini terkait jalur perantau orang Minang ke Malaka, ia menemukan sejumlah fakta yang mengarah pada keberadaan masakan rendang di Malaka.
“Berbagai literatur yang saya temukan menunjukkan bahwa jalur perantauan orang Minang ke Malaka memenuhi jalur sungai dari kawasan ‘darek’ (Tanah Datar, 50 Kota) Rokan dan terus ke Malaka,” kata prof Gusti Asnan pada VIVAnews, Jumat, 9 September 2011.
Kuat dugaan, rendang telah ada jauh sebelum hikayat Amir Hamzah karena literatur menunjukkan perantauan orang Minang ke Malaka sebagai Saudagar dimulai pada awal abad ke-16. Gusti mengatakan, catatan seorang Portugis Ruy de Brito menyebutkan, bahwa orang Minang banyak sekali yang berdagang ke Malaka sejak abad tersebut. Buku tentang jalur perantauan Malaya ini ditulis Ruy pada tahun 1514.
Apa hubungannya dengan rendang? “Karena jalur sungai ini memakan waktu lama untuk berlayar, masakan yang cocok dan tahan lama untuk menemani perjalanan para saudagar ini ya rendang,” ujar Gusti menganalogikan.
Dugaan itu diperkuat lewat peneltian kuliner yang dilakukan pada tahun 1980-an membuktikan bahwa Rendang Guguak Asli mampu bertahan hingga 60 hari tanpa mengalami perubahan. Awalnya, rendang ini diyakini mampu bertahan tanpa mengalami perubahan rasa selama tiga bulan.
Masuknya rendang di kawasan Malaka dinilai Gusti sebagai sesuatu hal yang masuk akal karena banyaknya perantau Minang yang menghuni kawasan tersebut, terutama di Negeri Sembilan yang merupakan perpanjangan tangan dari kerajaan Pagaruyuang. Menurutnya, Kolonel Stuers yang menulis tentang kuliner, sastra, yang identik dengan Minang pada 1827 mengarah pada rendang.
“Di situ disebutkan, masakan khas Minang yang terbuat dari daging, susu kelapa, cabai. Kuat dugaan saya, orang Minang lah yang menciptakan rendang pada awalnya,” ujar Gusti.
Disukai Raja hingga Rakyat Biasa
Pewaris tahta Kerajaan Pagaruyuang, Puti Reno Raudah Thaib, rendang kerap disajikan saat perayaan-perayaan adat kerajaan. “Dalam acara adat, yang umum dihidangkan rendang daging dan rendang belut,” ujar Rauda Thaib.
Raudha yang merupakan Bundo Kandung Minangkabau ini mengaku, sejak turun temurun, orang Minangkabau telah akrab dengan rendang. Karena menjadi land mark masakan Minang, tidak hanya daging yang direndang. Sayur pun direndang seperti: rendang nangka, rendang paku, dan rendang daun singkong. Daging paru pun ikut melengkapi masakan rendang yang ada di Padang.
Menurutnya, dalam cita rasa, rendang Padang (Minang) dengan rendang di kawasan Melayu lainnya—Negeri Sembilan, Riau—memiliki perbedaan mencolok. Dari segi pembuatannya pun, ujar Raudha, menunjukkan perbedaan yang signifikan. Rendang Minang memanfaatkan daging sapi segar sebagai bahan utama. Cabai, serai, dan bumbu masak lainnya dimasak jadi rata dalam waktu cukup lama hingga berubah bentuk menjadi cokelat kehitaman.
Ia mengaku, tidak tahu pasti sejak kapan masakan Rendang dibuat orang Minang. Namun ia yakin, rendang sudah ada sejak pertama kali orang Minang melakukan upacara adat. Dan Minang pun, ujarnya, dikenal dengan istilah Melayu Tua.
Baginya, rendang merupakan makanan yang menjadi basis lauk pauk (makanan pokok) utama dari hidangan. “Saya rasa tidak ada orang Minang mulai dari raja sampai masyarakat umum yang tidak menyukai atau mencicipi rendang dalam hidupnya,” ungkap Puti Reno Raudah Thaib. (Laporan: Eri Naldi | Padang, umi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar